Semasa hidupnya, Datu Sanggul ke Tapin ( desa Muning Tatakan ) dalam
rangka menuntut ilmu agama kepada Datu Suban, hal ini bukan berarti
beliau belum memiliki ilmu agama, melainkan beliau sudah memiliki ilmu
agama sudah cukup dan juga seorang Ulama. Dalam suatu mimpi ( ketika
masih berada di Palembang ) didalam mimpinya bertemu dengan orang tua
yang menasehati kalau anaknda Abdussamad mau mendapatkan ilmu sejati
maka tuntutlah sekarang, dan orang itu berada didaerah Kalimantan Banjar
tepatnya di kampung Muning pantai Munggu Tayuh Tiwadak Gumpa, di sana
ada seorang tua (datu) yang bernama Suban (Datu Suban), atas petunjuk
didalam mimpi itu Abdussamad berangkat menuju Kalimantan, yang
sebelumnya mendapatkan izin dari orang tua kandung hingga sampailah
beliau mendapatkan daerah yang dicari yaitu kampung Muning (Tatakan).
Setibanya di kampung Muning, beliau menemui Datu Suban dan
menceritakan perihal akan mimpinya tersebut, dengan lapang dada seakan
mengerti akan simbol rabbaniyahtul Ilm pada hallikwal waktu itu Datu
Suban pun menerima dan mengerti akan maksud kedatangannya serta disambut
serta sangat diharapkan oleh Datu Suban ibarat pepatah buku bertemu
dengan ruas kemudian pasak bertemu dengan tiang. Atas pengamatan dan
penilaian Datu Suban terhadap Datu Sanggul bahwasanya Datu Sanggul
mempunyai sikap maupun watak yang berbeda dari murid-muridnya yang lain,
sehingga Datuk Sanggul diberikan amanah untuk menjaga kitab oleh Datu
Suban mengenai ilmu Ma’rifattullah.
Menurut catatan sejarah, aktifitas beliau sehari-hari yakni berburu
rusa, katanya cara beliau berburu dengan cara menunggu ditempat yang
sering dilalui oleh binatang buruan dan hasil dari berburunya didermakan
ketetangga dan jiran sekitar rumah beliau.
Menurut mereka yang sefaham aliran dengan beliau ialah dengan ketaatan,
ketawadhuan serta tingkat peribadatannya sampai mencapai martabat Abudah
dan Badal. Metode pelaksanaan syariat keagamaannya di nilai sangat kuat
seperti sholat Tahajjud terutama dibulan suci Ramadhan beliau selalu
mengikat perut dan menguatkan ibadahnya untuk menunggu malam Lailatul
Qadar, menurut kepercayaan orang Banjar pada malam ganjil dimulai pada
20 akhir Ramadhan beliau selalu menyanggul Lailatul Qadar, sehingga atas
dasar tersebut masyarakat setempat digelari dengan sebutan Datu
Sanggul.
Sementara keunikannya dari pola interaksi symbolic Datuk Sanggul,
melalui Kitab Barencongnya pada manaqibnya penuh syair serta puisi dan
pantun. Diceritakan oleh juri kunci pemakaman Julak Antung, dimana
masyarakat sekitar memanggilnya, menurutnya melalui yang tercatat dalam
sejarah yakni manaqib Datu Sanggul dengan riwayat Kitab Barencong yang
diberikan Datu Suban kepada Datu Sanggul secara silsilah merupakan
berasal dari Datu Nuraya yang maqamnya berada dekat pertahanan Datu
Dulung ketika melawan Belanda dan benteng tersebut adalah benteng Munggu
Tayuh digelari dengan Datu Nuraya karena datu tersebut datang ke
kampung Muning bertepatan dengan hari raya selepas Datu Suban
melaksanakan sholat Ied. Setelah berkenalan dan memperlihatkan sebuah
kitab kepada Datu Suban tidak lama kemudian orang tersebut ambruk dan
wafat pada hari raya itu juga. Mengenai riwayat Datu Nuraya tidak ada
kejelasan dari mana beliau berasal dan apa tujuan beliau berada
dikampung Muning Tatakan, namun menurut kabar yang berkembang di
masyarakat ada yang mengatakan bahwa Datu Nuraya berasal dari Hadramaut
tetapi ada pula yang mengatakan bahwa Datu Nuraya berasal dari pulau
jawa, dengan gelar garandali, diceritakan garandali sebuah gelar yang
luar biasa, namun ketawadhuan yang dimiliki Datu Nuraya membuat hidupnya
lebih memilih merakyat, keutamaan garandali tak lain adalah seorang
ulama yang selalu merakyat, halikwal dan keinginannya sudah bulat di
tujukan hanya satu yakni kepada Allah SWT, sehingga setiap ibadah maupun
di dalam memanfaatkan ilmunya,selalu merasa tak berdaya melainkan hanya
dengan pertolongan Allah SWT, setiap kebaikan yang di anggapnya selalu
hanya hadiah dari Allah.SWT, dengan seperti itu,menjadikan hati bahkan
seluruh batang tubuhnya hanya sebagai persinggahan Allah.SWT saja dan
ini tingkat ikhlash yang tertinggi ungkapnya.
Datu Nuraya, seorang figur garandali yang menempuh jalan gurur, jalan
gurur yang selalu di kilati akan hal dan menurut kabar jalan ini tak
mudah, dan konon beliau ini, dengan kain kebesarannya atau tapih dapat
mengatur alam, yang tentunya atas izin Allah.SWT, seperti menurunkan
hujan, mengatur petir, dan awan serta angin yang bertiup, sehingga
setiap beliau berjalan di terik matahari awan selalu menaunginya,
Sementara itu juga ada kabar yang menyebutkan bahwasanya beliau bernama
Syekh Gede Jangkung, hal ini dilihat dari ukuran makam beliau yang
panjangnya 63 meter. Kitab yang diberikan Datu Nuraya kepada Datu Suban
berisi tuntunan hidup pada kehidupan lahir dan bathin untuk kehidupan
didunia maupun dikehidupan akhirat serta rahasia alam dan rahasia
rubbubiyah, serta menyangkut Rabbaniyatul Ilm dan Rabbaniyatul hukum.
Kembali ke Datu Sanggul bertemu dan menjalin persaudaraan dengan Datu
Kelampaian, di ceritakan oleh masyarakat setempat, akan hallikhwal Datu
Kelampaian Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari mengaji ke mekkah, beliau
sudah melakukan ikatan lahir bathin dengan Datu Sanggul, yakni
(beangkatan dangsanak) jika orang banjar mengartikan.
Ikatan saudara ini lebih di perluas dengan saling memberikan
pengetahuan satu sama lainnya, dimana keingintahuan Datu Kelampaian pada
isi kitab Datu Sanggul terpenuhi, sementara pesan Datu sanggul kepada
datu kelampaian yakni , kalau adinda bulik ke banua yang sarincung kitab
ini kaina ambil di Kampung Muning Tatakan dengan syarat harus membawa
kain putih, sebab bila kitab ini bersatu lagi salah satu diantara kita
akan kembali kepada Allah.SWT.
Ketika Datu Kelampaian pulang ke kampung halaman di Martapura setelah
30 tahun mengaji di Mekkah dan sempat mengajar di Masjidil Haram Mekkah
pada bulan Ramadhan 1186 H atau bulan Desember 1772 M, usai Datu
Kelampaian berkumpul dengan keluarga maka beliau teringat dengan Datu
Sanggul sebagai saudara yang ada di kampung muning Tatakan dengan
berencana akan melakukan silahturhami.
Sesampainya di kampung Muning beliau sampai pada gubuk yang sederhana
apakah benar suadara Datu Sanggul telah pulang kerahmatullah, dan konon
meninggalnya Datu Sanggul ditandai dengan hujan lebat selama tiga hari
tiga malam berturut-turut,yang menandakan bahwa langit dan bumi merasa
bersedih atas kepergiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar